Beranda | Artikel
Sifat Malu Dalam Islam
Selasa, 10 September 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi

Sifat Malu Dalam Islam merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. dalam pembahasan Kitab Ahsanul Bayan min Mawaqifi Ahlil Iman. Kajian ini disampaikan pada 10 Sya’ban 1440 H / 16 April 2019 M.

Download juga kajian sebelumnya: Kisah Para Sahabat Nabi dalam Meraih Surga

Kajian Tentang Sifat Malu Dalam Islam – Kitab Ahsanul Bayan

1. Sifat malu ini adalah bagian dari keimanan

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berkata bahwa suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati seseorang dari kalangan Anshar. Dia sedang menasehati saudaranya tentang masalah malu. kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.

“Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu bagian dari keimanan” (Muttafaqun ‘alaih)

Maksudnya adalah jangan diingkari rasa malu yang ada padanya. Karena Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa rasa malu yang ada pada dia adalah bagian daripada keimanan. Jadi, rasa malu ini adalah bagian daripada iman.

2. Rasa Malu merupakan cabang dari cabang-cabang keimanan

Yang ke-2 dari keutamaan rasa malu adalah bahwa rasa malu adalah cabang dari keimanan. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

“Iman itu memiliki tujuh puluh tiga cabang lebih atau enam puluh tiga cabang lebih. Yang paling afdzal dari cabang keimanan adalah perkataan Laa Ilaha Illallaah,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah bagian dari keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian di dalam hadits yang shahih dikeluarkan oleh Tirmidzi, dikeluarkan juga oleh Imam Ahmad dan yang lainnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الحَيَاءُ وَالعِيُّ شُعْبَتَانِ مِنَ الإِيمَانِ ، وَالبَذَاءُ وَالبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ

“Rasa malu dan sedikit bicara adalah dua cabang daripada keimanan. Sedangkan berkata keji, banyak bicara merupakan cabang dari pada kemunafikan.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya)

3. Rasa Malu Kawannya Iman

Kalau ada iman, maka akan ada rasa malu. Kalau iman itu hilang dari seseorang maka hilang rasa malunya. Jadi iman dan rasa malu itu berkawan. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad kemudian juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan yang lainnya:

اَلْحَيَاءُ وَالْإِيْمَانُ قُرَنَاءُ جَمِيْعًا، فإذا رُفِعَ أحدهما رُفِعَ الآخر

“Rasa malu dan keimanan itu saling berkawan. Apabila salah satunya diangkat maka akan diangkat yang lainnya.” (HR. Bukhari dan yang lainnya)

4. Rasa malu itu bagian dari agama Islam

Rasa malu itu bagian dari agama Islam bahkan rasa malu merupakan agama Islam secara keseluruhannya. Berkata seseorang, “Kami pernah di samping Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian disebutlah tentang sifat malu di sisi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka berkata:

يَـا رَسُوْلَ اللهِ َاْلحَيَاءُ مِنَ الدِّيـْنِ؟

“Wahai Rasulullah, rasa malu itu sebagian daripada agama.”

Maka Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَـلْ هُوَ الدِّيـْنُ كُـلُّهُ

“Justru rasa malu itu semua agama”, kata Rasulullah.

Dan dalam hadits yang lain Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء

“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan sesungguhnya akhlaknya agama Islam ini adalah rasa malu.” (Hadits Hasan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan Thabrani serta Al-Baihaqi)

Dari hadits yang mulia ini kita mengetahui bahwa akhlaknya Islam adalah sifat malu.

5. Rasa Malu Adalah Perhiasan

Rasa malu apabila ada pada sesuatu atau ada pada diri seorang laki-laki atau ada pada diri seorang wanita, maka akan menghiasinya. Dan tidaklah rasa malu itu dicabut dari sesuatu melainkan akan menjadikannya buruk. Dalilnya adalah sabda Rasul yang mulia ‘Alaihish Shalatu was Salam di dalam hadits yang sahih dikeluarkan oleh Al-Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya, Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا كَانَ الْفُحْشُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ شانَهُ، ومَا كَانَ الحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ

“Tidaklah kekejian berada pada sesuatu melainkan menjadikannya buruk dan tidaklah sifat malu ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya.”

Jadi sifat malu ini bisa menghiasi seorang laki-laki dan seorang wanita. Tetapi kalau sifat malu ini dicabut dari seseorang, maka yang adalah keburukan.

6. Sifat malu menghantarkan seseorang menuju ke surga

Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang hasan shahih dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan yang lainnya:

الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ وَالإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ

“Rasa malu itu dari keimanan sedangkan keimanan itu tempatnya di surga, ucapan yang jorok (kasar atau keji) bagian daripada kekerasan sedangkan kekerasan dalam neraka.”

7. Sifat malu adalah akhlak mulia yang dicintai Allah

Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud, Nasa’i dan Al-Baihaqi:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ

“Sesungguhnya Allah itu Allah ‘Azza wa Jalla itu Maha malu dan yang Maha menyembunyikan aib, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai sifat malu dan menyembunyikan aib.”

Jadi, malu itu akhlak terpuji yang mendatangkan cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah mencintai sifat malu.

8. Sifat malu bisa mencegah seseorang dari perkataan buruk

Penulis berkata bahwa sebelum keislaman Abu Sufyan, ketika beliau berdiri di hadapan Raja Heraklius. Heraklius adalah seorang kaisar. Ketika Abu Sufyan berdiri di depan Raja Heraklius untuk bertanya kepada Abu Sufyan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Raja Heraklius mendengar ada seseorang di daerah Mekkah, di daerah Padang Pasir, seseorang yang mengaku Nabi. Raja Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan.

Simak kisahnya di Kisah Abu Sufyan Bertemu dengan Raja Heraklius – Kitab Permulaan Wahyu – Hadits 7

Kalau kita baca hadits itu kita semakin yakin seyakin-yakinnya dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentang kebenaran ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika Abu Sufyan ditanya oleh Raja Heraklius tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Sufyan menjawab dengan jujur. Rasa malunya mencegah dia dari berkata dusta. Kalau dia dusta, bisa saja. Karena Raja Heraklius tidak tahu.

Di zaman Jahiliyah, Abu Sufyan tidak mau berbicara dusta. Bagaimana dengan sebagian kaum kita sekarang? Sungguh sangat jauh dengan rasa malu ini. Sampai Abu Sufyan berkata:

فَوَاللَّهِ لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَنْهُ

“Demi Allah, kalau bukan seandainya bukan karena rasa malu mereka mengatakan aku dusta, aku akan berdusta atasnya.”

Artinya kalau bukan karena malu dikatakan pendusta, Abu Sufyan akan berbicara dusta tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ada sebelus pertanyaan yang diajukan Raja Heraklius kepada Abu Sufyan dan jawabannya itu menunjukkan bahwa bahwa dia betul seorang Nabi. Raja Heraklius selain orang yang cerdas, dia juga ahli nujum. Dan dia tahu bahwa betul-betul dia Nabi. Tapi sayang seribu kali sayang dia tidak beriman. Tapi dia yakin bahwa itu adalah Nabi.

Dan surat yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kirimkan lewat Dihyah Al-Kalbi disimpan oleh dia bahkan sebagian ulama mengatakan disimpan juga oleh anak cucunya. Dan ini kata para ulama barangkali rahasia kenapa kerajaan Romawi tidak hancur. Beda dengan Persia. Raja Persia ketika datang surat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dirobek dan Rasul katakan, “Semoga Allah merobek-robek kerajaan mereka.” Dan dihancurkan kerajaan sehancur-hancurnya kerajaan Persia. Raja Heraklius tahu kalau Nabi Muhammad adalah seorang Nabi. Dan ketika mau perang Tabuk, gentar.

Adapun rasa malu itu dicabut dari seorang laki-laki atau seorang perempuan maka kau lihat bahwa dia bisa berbuat apa yang dia mau, dia berkata sesuai dengan apa yang dia mau tanpa malu. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan hadits yang Muttafaq ‘alaih:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Diantara apa yang diketahui oleh manusia dari perkataan Nabi terdahulu adalah: apabila kau tidak malu, lakukan yang kau kehendaki.” (Muttafaq ‘alaih)

Jadi orang yang berbicara sembarangan, yang berbuat sembarangan, biasanya hilang malunya.

Apa yang dimaksud dengan malu secara syariat?

Penulis mengatakan bahwa rasa malu adalah akhlak terpuji yang mencegah seseorang dari melakukan perbuatan buruk, perkataan yang jelek dan dari kelalaian dari menunaikan hak Allah dan dalam menunaikan hak hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Malu terbagi menjadi dua. Simak kisah berikutnya pada menit ke-25:07

Download Kajian Tentang Sifat Malu Dalam Islam – Kitab Ahsanul Bayan


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47680-sifat-malu-dalam-islam/